Articles by "Diplomasi"
Showing posts with label Diplomasi. Show all posts
Okto Mote, Sekretaris Jendral ULMWP.
Suva, Megaphone PAPUA – Pertemuan Pacific Island Development Forum (PIDF) yang akan dilakukan pekan depan di Port Moresby Fiji, seperti yang dilangsirkan The Fiji Times ONLINE Octovianus Mote Sekretaris Jendral United Liberalition Movement for West Papua (ULMWP) meminta para petinggi dalam PIDF menuntut PBB harus mengirim utusan khusus untuk meneliti dan memantau langsung Pelanggaran HAM di West Papua.

"Kami akan disahkan menjadi anggota dari PIDF tahun depan, kami juga meminta para pemimpin untuk membentuk misi pencari fakta dan melakukan penilaian hak asasi manusia di Papua Barat dan kami juga meminta para pemimpin untuk meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk mengirim Utusan khusus untuk melakukan penilaian hak asasi manusia.” Ujar Mote.

Dalam pertemuan itu, para pemimpin West Papua tidak mendapatkan akses untuk hadiri dalam pertemuan Pacific Island Development Forum (PIDF), namun Octo Mote menyampaikan bahwa dengan status Observer West Papua di MSG, masalah West Papua bukan masalah lokal West Papua tapi telah menjadi masalah regional Melanesia maupun Pacific.

"Masalah West Papua bukan masalah lokal lagi, ini adalah masalah Melanesia, ini adalah masalah South Pacific Forum jadi saya harus menyampaikan terima kasih kepada semua kelompok solidaritas saya karena kami semua bekerja sama. Seperti yang saya katakan, masalah Papua Barat adalah masalah hak asasi manusia dan itu masalah semua manusia yang punya hati." lanjut Jubir ULMWP ini.


Perlu diketahui bahwa agenda utama yang akan dibahas dalam pertemuan PIDF adalah isu-isu tentang perikanan, perubahan iklim, isu-isu hak asasi manusia yang berkaitan dengan Papua Barat, kanker serviks dan teknologi computer.[Hugo/MP]
Benny Wenda
Papua Nugini (PNG) telah menolak aplikasi visa saya untuk memasuki negara itu untuk kedua kalinya. Saya kecewa bahwa PNG sebagai negara demokrasi yang menghargai demokrasi, kebebasan dan keadilan telah mengambil keputusan ini. Yang pertama, saya diberitahu bahwa masalah ini adalah masalah administrasi dan alasan yang diberikan adalah bahwa saya tidak melengkapi dokumen keimigrasian yang diperlukan PNG dan prosedurnya.

Untuk menghadiri undangan Gubernur Distrik Ibu Kota Nasional (NCD), Hon. Powes Parkop untuk menghadiri konferensi pengungsi hak asasi manusia, dan juga mengambil bagian dalam acara lainnya termasuk perayaan kemerdekaan 40 PNG, dan Pulau Forum Pasifik dalam kapasitas saya sebagai juru bicara United Liberalition Movement for West Papua (ULMWP); Saya meluncurkan aplikasi visa penuh yang diperiksa oleh pengacara saya dan dahului dengan pemesanan penerbangan.

Beberapa jam sebelumnya saya naik ke pesawat dari London Heathrow ke Port Moresby minggu ini, saya menemukan bahwa imigrasi PNG menolak permohonan visa saya, dan sebagai hasilnya, saya telah membatalkan perjalanan ke PNG. Tidak ada rincian yang tepat atau penjelasan resmi dari Komisi Tinggi PNG di London mengapa aplikasi visa saya ditolak.

Saya menghormati keputusan Pemerintah PNG dan departemen imigrasi, tetapi dengan ini saya memohon kepada pemerintah untuk tidak menghukum perjuangan rakyat Papua Barat. Saya sangat mendorong Perdana Menteri, Peter O'Neill dan semua pemimpin Pasifik untuk berdiri teguh sebagai pemimpin Pasifik dan mendukung isu Papua Barat di pertemuan minggu depan.

Papua Barat adalah salah satu dari lima bidang prioritas teratas pada pertemuan Pacific Island Development Forum, dan saya menghimbau kepada masyarakat PNG dan Pasifik untuk menggalang dukungan Anda pada rekomendasi ditetapkan sebelum para pemimpin.

Kami ULMWP menghimbau para pemimpin Pasifik kami untuk membentuk sebuah delegasi tingkat tinggi PIF untuk melakukan sebuah misi pencarian fakta untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat; dan untuk mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menunjuk seorang utusan khusus HAM untuk Papua Barat.

Ada dukungan yang berkembang di Pasifik, dan saya ingin berterima kasih secara pribadi saudara Pacific saya dan saudara yang selalu mendukung perjalanan kebebasan kita. Silakan terus mendukung rakyat Papua Barat dalam perjuangan kami untuk kebebasan. Terima kasih juga untuk teman-teman di Australia, Selandia Baru, dan mereka secara global yang terus mendukung gerakan kebebasan Papua Barat.


Benny Wenda


Pemimpin Kemerdekaan Papua Barat 
Juru Bicara United Liberalition Movement for West Papua
Papua Merdeka!

Benny Wenda depan Museum Bob Marley.(Source: FB Benny Wenda)
Megaphone PAPUA - Pemimpin Kemerdekaan West Papua Benny Wenda menyampaikan belasungkawa kepada kematian Kolonel Frank Lumsden, seorang pemimpin dari Jamaika Maroon yang ia jumpai tahun 2012 lalu.

Benny Wenda mengaku banyak belajar darinya tentang semangat kebebasan dan perlawanan terhadap penindasan.

Benny Wenda bertemu Kolonel Frank Lumsden dan Maroon lainnya di desa Jamaika dan terinspirasi oleh sejarah panjang mereka perlawanan terhadap perbudakan dan kolonialisme. 

"Terima kasih banyak Kolonel Frank Lumsden untuk semua dukungan Anda untuk perjuangan kemerdekaan Papua Barat serta telah menunjukkan kepada saya semangat rakyat Maroon ketika saya mengunjungi Jamaika." Kata Jubir ULMWP ini.

"Semoga Anda Istirahat dengan damai dan mungkin semangat Anda terus menginspirasi orang di seluruh dunia dalam semangat perlawanan." tambah Wenda.

Saya yakin orang-orang Maroon akan terus hidup dengan pesan Anda dan juga membantu mendukung rakyat Papua Barat dan orang lain berjuang untuk kebebasan di seluruh dunia. Terima kasih dan Selamat Jalan" Tambah Benny[RH/MP]

Ilustrasi
Jakarta, Megaphone PAPUA - Media tidaklah memperburuk pemberitaan mengenai berbagai peristiwa di Indonesia untuk diterbitkan di Australia. Sebaliknya, media justru bisa membantu memperkuat hubungan kedua negara.
Demikian salah satu pendapat yang mengemuka dalam diskusi panel bertajuk "Peran Media dalam Hubungan Australia-Indonesia" yang berlangsung di Kampus Universitas Melbourne, kemarin. Diskusi diselenggarakan oleh organisasi pemuda Australia Indonesia (AIYA).

Hadir sebagai panelis dua wartawan Australia yang baru saja menyelesaikan masa kerja mereka di Indonesia, Helen Brown dari ABC dan Michael Bachelard dari kelompok Fairfax Media. Selain itu, juga Sastra Wijaya dari ABC Australia Plus Indonesia dan dua akademisi Dr Nasya Bahfen dari Monash University dan Dr Ross Tapsell dari ANU Canberra.

Bertindak sebagai pemandu adalah Paul Ramadge Direktur Australia Indonesia Center, sebuah lembaga yang memayungi kerjasama penelitian antara Indonesia dan Australia.

Dalam memulai diskusi Paul Ramadge sebagai pemandu membuka dengan pernyataan mengapa pemberitaan mengenai Indonesia di Australia sangat bernada negatif dan apakah para wartawan Australia yang ditugaskan di Indonesia sengaja membuat berita-berita yang negatif saja.

Michael Bachelard yang baru saja kembali dari penugasan selama tiga tahun di Indonesia mengatakan bahwa pada dasarnya berita yang ada memang bernada 'negatif' seperti mengenai konflik, mengenai perbedaan pendapat dan yang lainnya karena dalam dunia pemberitaan hal itu yang dianggap menarik untuk diketahui oleh pembaca.

Panelis dari kiri: Helen Brown, Sastra Wijaya, Michael Bachelard, Nasya Bahfen, Ross Tapsell dan pemandu Paul Ramadge. (Foto: Windu Kuntoro)
Panelis dari kiri: Helen Brown, Sastra Wijaya, Michael Bachelard, Nasya Bahfen, Ross Tapsell dan pemandu Paul Ramadge. (Foto: Windu Kuntoro)

Hal senada yang juga disetujui oleh Helen Brown. "Peran media bukanlah mencari berita yang bagus-bagus, tetapi mencari berita menarik," ujarnya.

"Memang ketika berada di Indonesia, para wartawan asing merasa bahwa fokus pemberitaan kami sangat sempit dan cenderung ke hal yang itu-itu saja. Namun ketika kami berbicara dengan masyarakat banyak, yang muncul juga hal yang negatif seperti misalnya korupsi, harga BBM, transportasi yang tidak memadai." kata Helen.

Keduanya menolak pendapat bahwa media Australia hanya sengaja mencari hal-hal yang buruk saja berkenaan dengan Indonesia.

Menurut Sastra Wijaya hal itu terjadi karena memang selama ini arus informasi berjalan searah. "Berita mengenai Indonesia yang muncul di media Australia itulah yang mengisi dan menentukan suasana hubungan kedua negara," jelasnya.

"Ini karena media di Australia menempatkan wartawan di Indonesia sedangkan media di Indonesia tidak menempatkan wartawannya di Australia karena alasan biaya," tambahnya.

Dikatakan, dalam dua tahun terakhir, utamanya setelah Radio Australia yang dulu dikelola ABC Internasional berubah menjadi Australia Plus Indonesia, maka arah pemberitaan pun berubah.

"Kami mulai mengisi ruang yang selama ini hanya berisi berita-berita negatif dengan berita lain misalnya mengenai kegiatan warga Indonesia di Australia," papar Sastra.

Dalam diskusi yang dihadiri oleh hampir 100 orang ini, peserta juga mendapatkan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, dan salah satunya bertanya mengenai apakah ada perbedaan budaya dan juga kurangnya pemahaman dari para wartawan asal Australia mengenai Indonesia sehingga mereka hanya memfokuskan diri pada berita-berita tertentu saja misalnya Papua.

Dalam jawabannya, Helen Brown mengatakan bahwa apa yang dilakukannya tidak berbeda dalam peliputan berita lain, dalam arti mereka berusaha memasukkan sebanyak mungkin sudut pandang dalam laporan.

Michael Bachelard mengatakan bahwa barangkali saja bagi media Australia, mereka 'terobsesi' untuk meliput masalah Papua.

"Mungkin karena memang kawasan itu paling dekat dengan Australia. Juga karena banyaknya aktivis Papua di Australia. Saya sering mendapat informasi yang dikirim oleh mereka," ungkapnya.

Ditambahkan oleh Helen Brown, yang juga baru menyelesaikan penugasan selama beberapa tahun di Indonesia, ada "kesenjangan" komunikasi antara wartawan asing dengan para wartawan Indonesia ketika mereka meliput di Indonesia.

"Sering terlihat dalam acara tertentu, wartawan internasional akan berkelompok sendiri, sementara di sudut lain wartawan Indonesia berkumpul sendiri," papar Helen.

"Karenanya ketika saya di Indonesia kami membentuk kelompok diskusi, setiap bulan berkumpul belasan wartawan asing dan Indonesia berdiskusi mengenal hal-hal yang menarik," tambahnya.

Salah satu pertanyaan yang muncul dari peserta adalah siapa yang sekarang ini menentukan nada pemberitaan dalam hubungannya antara Indonesia dan Australia, apakah media atau publik?

Nasya Bahfen dari Universitas Monash mengatakan bahwa menurutnya yang menentukan arah pemberitaan bukanlah media atau publik, namun pemerintah.

Sementara itu Ross Tapsell mengatakan bahwa sekarang ini yang menentukan arah pemberitaan adalah editor di masing-masing media.

Sebagai editor, menurut Sastra Wijaya, ABC Australia Plus sekarang berusaha mencari berita-berita yang berkenaan dengan Indonesia dan Australia yang selama ini tidak disentuh oleh media lainnya.

"Sebagai contoh ketika Presiden Jokowi terpilih, sebelumnya mungkin Radio Australia akan membuat berita mengenai terpilihnya Jokowi dengan mewawancarai pengamat di Australia," jelasnya.

"Australia Plus membuat pendekatan berbeda dengan memuat ucapan selamat yang dibuat oleh para mahasiswa dari Universitas Monash dalam bahasa Indonesia. Postingan ini di Facebook dibaca oleh sekitar 400 ribu kali," kata Sastra.

"Juga berita mengenai seorang mahasiswa asal Indonesia dari Monash University yang menjadi Presiden Dewan Mahasiswa Internasional mendapat banyak respon dengan lebih dari 27 ribu likes di Facebook," katanya menambahkan.

"Dan juga berita itu tidak saja dibuat dalam bahasa Indonesia namun muncul dalam bahasa Inggris sehingga bisa dibaca di Australia. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan sebelumnya," kata Sastra lagi.

Dalam komentarnya, Ross Tapsell mengatakan bahwa tidak media saja yang bisa memainkan peran dalam meningkatkan hubungan antara Indonesia dan Australia.

"Hubungan yang lebih dekat antara Indonesia dan Australia mungkin masih seperti mimpi. Namun mimpi ini layak diwujudkan dan kita harus semua berusaha mencapai hal tersebut," kata pengajar di ANU tersebut.

Acara diskusi panel ini diselenggaralan oleh Australia Indonesia Youth Association (AIYA) sebuah lembaga yang memberi wadah bagi para pemuda asal kedua negara untuk berinteraksi lebih dekat. (dtc/abc)

Sumber: MEDAN BISNIS DIALY
Benny Wenda
Honiara, Megaphone PAPUA - Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Melanesian Spearhead Group (KTT MSG) yang diadakan di Honiara, Solomon Island 18-24 Juni 2015, Benny Wenda juru bicara United Liberalisation Movement for West Papua (ULMWP) menyatakan sikapnya optimis West Papua menjadi anggota penuh dalam forum MSG.

Dalam pertemuan tersebut, para pimpinan negara kawasan melanesia yang tergabung dalam MSG akan memutuskan dua agenda pengajuan keanggotaan, Melanesian West Papua dan Melanesian Indonesia. 

Kepada Radio Australia, Benny Wenda mengatakan dirinya sangat berharap West Papua dapat diterima menjadi anggota penuh, sementara keputusan akan ditetapkan pada Rabu 24 Juni 2015. 

Benny Wenda Optimis karena ini merupakan pengajuan yang ke 2 kali, pengajuan pertama yang dilakukan oleh West Papua National Coalition for Liberalition tahun 2013 lalu ditolak karena kurangnya persatuan dalam front gerakan Kemerdekaan Papua, dengan alasan itu ULMWP dilahirkan sebagai wadah persatuan yang kali ini kembali mengajuakan aplikasi keanggotaan dan akan diputuskan Rabu, 24 Juni nanti.[Hugo/MP]


Ibadah dukungan ULMWP menjadi anggota MSG di Surabaya. (Foto: Zayur Bingga)
Surabaya, Megaphone PAPUA - Dukung ULMWP: AMP KK Surabaya Mengadakan Doa dan Petisi Dalam rangka mendukung West Papua masuk atau bergabung kedalam salah satu anggota Melanesian Spearhead Group (MSG), AMP Komita Kota Surabaya mengadakan ibadah dan petisi. Dalam ibadah ini, Mahasiswa Papua yang hadir sekitar 60-an lebih orang untuk mengikuti ibadah pada sore hari ini, pukul 17.00 – selesai, tepatnya Asrama Kemasan III Papua. Melalui sebuah ibadah ini, kita sebagai umat manusia akan diberikan kekuatan untuk memuji, memuliakan, dan mengabdi kepada-Nya.

Dan sering diberkati oleh Allah sendiri, akan tetapi kita sendiri yang akan melupakannya, apa yang diberikan oleh Tuhan kepada kita dalam sebuah proses perjuangan yang kita jalani. Tetapi, mujizat Tuhan itu Nyata dan membuktikan bahwa, perjuangan kali ini, mengenai dukungan ULMWP merupakan wadah representative Rakyat Papua yang dibentuk atas penyatuan atas faksi yang berjuang untuk kemerdekaan Papua yang dilakukan pada tanggal 1-4 Desember 2014, dengan tujuan menegakkan kedaulatam West Papua demi kembali kepadd keluarga besar Melanesia dalam Forum Melanesian Spearhead Group (MSG).

Pemusnaan etnis atas Rakyat West Papua, merupakan tanggung jawab bersama Rakyat serta pemerintahan Negara-Negara di kawasan Melanesia. West Papua masuk ke dalam MSG merupakan landasan utama, atas kesedihan dan kerinduhan hati rakyat West Papua, atas dukungan MGS bahwa West Papua harus bergabung ke dalam himpunan forum MSG.
Karena Allah sendiri akan memimpin setiap langkah hidup manusia. “Dalam setiap perjuangan, pastikan bahwa Anda akan berada dalam situasi yang memanas. Dalam arti bahwa, janganlah kita akan mengutamakan hal duniawi atau harta kekayaan yang kita miliki, tetapi berpikirlah arah ke depan yang bisa mengubah diiri kita dan tetap peercaya bahwa Tuhan itu ada, karena bagi Allah tak ada yang mustahil. Sebab, iman tanpa batas akan mengukir sebuah kata kebebasan diri dalam setiap perjuangan demi pembebasan bangsa Melanesia” ujar pengkorbah, saudara Simion Tibakoto.

Pembungkaman suara dukungan Rakyat Papua atas agenda ULMWP di MSG semakin parah, negara-negara yang berada di kawasan Melanesia yaitu; PNG, Fiji, Vanuatu, Solomon, Island, dan New Caledonia perlu memberikan suara demi masa depan Rakyat Melanesia di West Papua yang sedang berada dalam pembungkaman, penahanan, pembunuhan, penindasan, pemerkosaan, dan pemeras harta kekayaan alam West Papua yang sangat brutal dilakukan oleh Republik Indonesia.

Dalam pertemuan MSG yang berlangsung ini. Melihat situasi di atas kami yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Surabaya sekaligus mewakili seluruh Rakyat Papua menyatakan sikap, bahwa;

1. ULMWP merupakan representasi Rakyat Papua dan Kami mendukung penuh keanggotaan West Papua bersama keluarga besar Melanesia di Melanesian Spearhead Group (MSG).

2. Rakyat Papua melalui United Liberalition Movement for West Papua (ULMWP) membutuhkan dukungan yang sebesar-besarnya dari rakyat dan pemerintah Melanesia untuk bergabung bersama MSG.

3.  Papua New Guinea (PNG), Vanuatu, Fiji, Solomon Island, dan New Caledonia wajib bersuara demi membebaskan Rakyat Melanesia di West Papua dari Bahaya “Pemusnahan Etnis Melanesia.” Oleh Negara Republik Indonesia. Agar dalam pembahasan dan penetapan di sidang KTT MSG ini, kami Bangsa Papua, mengharapkan kepada Negara-Negara Bagian yang berada di bawah wadah MSG semoga mendukung aplikasi Bangsa Papua, semoga kami bangsa Papua bisa menjadi anggota bagioan dari MSG. Dengan mempertimbangkan situasi kini di tanah Papua yang berada dalam ZONA DARURAT. Maka, kami membutuhkan berbagai dukungan demi meloloskan agenda West Papua menuju keanggotaan MSG.

Ketua AMP KK Surabaya Stepanus Pigai dalam sambutan mengajak bhawa, setiap anak bangsa papua harap wajib menudukung dengan tindakan dan ekspresinya masing-masing terhadap ULMWP agar dalam pembahasa aplikasi yang berjalan ini bisa di tangapi dengan serius oleh Negara-negara bagian dari MSG dan Kami bangsa Papua yang sebenarnya bangsa malanesia supaya bisa di terimah menjadi angota bagiannya.


Lanjut Pigai, maka ditegaskan kepada setiap mahasiswa/i papua di Surabaya bhawa sebagai mahasiswa harus membuka mata dan melihat situasi ditanah air bhakan situasi ditingkat diplomasih karena kami sebagai mahasiswa papua yang artinya tulang punggu untuk Bangsa west papua. Maka jangan jadikan mahasiswa/I yang hidupnya segitiga tetapi buatlah sesuatu demi kebenaran karena kebenaran itu akan membuktkannya, namun ini momen yang tepat untuk kita bisa berekpresi sesuai bakat kita untuk mendukung West Papua menjadi angota dari MSG.[Hugo/DG/MP]
ULMWP Logo
Megaphone PAPUA - United Liberalition Movement for West Papua (ULMWP) mengatakan ia memiliki mandat dan mewakili suara Rakyat Papua untuk kepentingan terbaik dari Rakyat Melanesia di Papua Barat.

Kelompok ini mewakili tawaran Rakyat Papua Barat untuk keanggotaan penuh MSG, yang akan melakukan KTT para pemimpin tahunan pekan depan di Honiara.

ULMWP mengatakan KTT MSG tahun lalu telah mendesak orang Papua Barat untuk membentuk penyatuan kepemimpinan yang sah dan mengatakan Rakyat telah melakukan itu.

Ia mengatakan pertemuan puncak pekan depan adalah untuk mencoba tujuan dan tekad keanggotaan dalam forum MSG untuk mempersolid, mempertegas hubungan abadi antara orang Melanesia.[Hugo/MP/RNZ]