Ilustrasi |
JAKARTA, (PRLM).- Pemerintah diminta untuk meninjau ulang kegiatan tambang yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia (FPI) di Mimika, Papua. Pasalnya, sebagian kegiatan eksplorasi yang dilakukan FPI tersebut diduga belum memiliki izin dari Kementerian Kehutanan.
Eksplorasi mineral yang dilakukan oleh PT FPI yang mengacu pada Surat Menhut 399/Menhut-VII/2013 yang diterbitkan pada 9 Juli 2013 telah berakhir. Sejatinya izin prinsip tersebut tidak boleh menjadi acuan legalitas dalam kegiatan ekplorasi mineral.
“Kalau begitu, ya pemerintah harus bersikap tegas. Hentikan dulu kegiatan penambangan sebelum izinnya dipenuhi. Ini semua rakyat yang dirugikan dan ini memang cerobohnya pemerintah membuat kerjasama dengan asing,” tegas Uchok Sky Kadhafi, pengamat Anggaran Politik dan Direktur Center For Budget Analysis (CBA) di Jakarta, Selasa (18/8/2015).
Seperti diketahui, sesuai UU No. 41/1999 tentang kehutanan, kegiatan penambangan bisa dilakukan apabila perusahaan sudah mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) bukan izin prinsip. Sesuai izin prinsip yang tertera dalam Surat Menhut 399/menhut-VII/2013 ini pun, untuk lahan seluas 2.738,8 hektar (ha) sudah berakhir pada Juli 2015, sehingga kegiatan operasional penambangan FPI ini tidak didukung izin prinsip, apalagi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
“Kalau Freeport tak segera selesaikan bisa dilanjutkan ranah hukum. Mereka itu kontrak langsung dengan pemerintah, seharusnya kayak gini cukup kontrak dengan BUMN saja. Jadi kalau ada persoalan gampang, bukan kelihatan pemerintah itu memble seperti ini,” ujarnya.
Secara terperinci, di dalam data izin prinsip dari Menteri Kehutanan tersebut, yang didapat FPI adalah areal penambangan seluas 507,2 ha, sarana dan prasarana seluas 1328,52 ha, jalan seluas 164,48 ha, serta yang secara legal memiliki IPPKH tahun 1998 yakni kawasan hutan untuk jalan dan transmisi dengan luas hanya 738,6 ha.
Dengan begitu, yang benar-benar mendapatkan IPPKH hanya seluas 738,6 ha, selebihnya hanya dibekali izin prinsip. Itupun izin prinsip yang diterbitkan sudah habis masanya, sehingga sekarang kegiatan Freeport benar-benar diluar IPPKH, dan bisa dianggap ilegal.
Karena itu, Uchok menegaskan, FPI belum memiliki IPPKH, atau baru mengantongi izin persetujuan prinsip saja. Tentu saja, apabila FPI telah melakukan ekplorasi tanpa didukung dengan payung hukum yang sah, maka segala kegiatan FPI di Papua bersifat ilegal.
Sementara itu, pengamat pertambangan Marwan Batubara mengatakan, masih banyak persoalan kontrak karya PT Freeport Indonesia yang harus segera diselesaikan. Tidak hanya masalah izin penggunaan kawasan hutan, tetapi juga terpenting adalah bagi hasilnya, royaltinya seperti apa taupun sejauh mana manfaat pemerintah. “Ya izin prinsip itu sebenarnya harus segera diselesaikan oleh Freeport Indonesia, karena ini masalah koordinasi pemerintah,” katanya.
Menurut Marwan, PT Freeport Indonesia harus segera menyelesaikan izin pemanfaatan lahan hutan lindung. “Ini masalahnya mengganggu, tapi bisa diselesaikan oleh internal pemerintah. Apalagi pemerintah telah menyetujui kontrak karya mereka. Mereka itu sudah melakukan produksi bukan ekplorasi saja, ini harusnya bisa diselesaikan,” tegasnya. (Satrio Widianto/A-147)***
Sumber: PIKIRAN RAKYAT
Post A Comment:
0 comments so far,add yours