![]() |
Camila Vallejo menjadi salah satu tokoh pemimpin mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi pada tahun 2011 di Chile |
Pengantar
Perempuan sebagai individu maupun secara kolektif dari
jenis sexnya merupakan bagian tak terpisahkan dari kolektif sosial,
masyarakat. Tak terpisahkan, karena apabila tidak ada perempuan maka
tidak ada peradaban manusia. Seperti halnya yang disampaikan Pramoedya
Ananta Toer, ‘Perempuan adalah “Lautan Kehidupan” maka hormatilah ia’.
Apa yang disampaikan oleh Pramoedya merupakan himbauan untuk menghargai
perempuan atas kenyataan bahwa perempuan tidak berada dalam posisi
setara sebagai manusia dengan manusia lainnya yang berbeda jenis
sexualnya dalam masyarakat, Pria. Peryataan Pramoedya ini sekaligus
memberikan landasan fundamental kontribusi perempuan bagi peradaban
manusia.
Pendiskusian mengenai faktor-faktor historis yang membuat perempuan
tidak setara secara struktural maupun kultural telah dikupas secara
gamblang dalam berbagai materi, seperti: Asal usul Penindasan Perempuan,
Menyingkirkan Perempuan (The Disposesion of Women, Pat Brewer) maupun
Keluarga Perdana (The Origin Family, Frederich Engels). Dalam materi
tersebut telah disimpulkan dengan jelas penyebab perempuan menjadi
“Second Sex” dalam masyarakat, yaitu: a. Faktor Ekonomi-Politik
(Masyarakat berkelas) b. Faktor Kebudayaan/Superstruktur Ideologis dari
masyarakat berklas (Budaya Patriarkhi[1]).
Tetapi apakah 2 hal ini saja yang menjadi penyebab
ketidaksetaraan/penghambat kemajuan perempuan Indonesia? Tidak. Hambatan
kemajuan perempuan Indonesia jauh lebih kompleks ketimbang perempuan di
eropa. Sama seperti hambatan-hambatan kemajuan masyarakat Indonesia
yang lebih kompleks ketimbang masyarakat eropa yang lebih sejahtera,
lenih demokratis—walaupun belum dalam makna sepenuh-penuhnya dan dinamis
(dalam pengertian positif).[2]
Hambatan bagi Kemajuan Masyarakat Indonesia
Sebelum kita membahas secara lebih detail apa saja
problem-problem/hambatan kemajuan perempuan Indonesia, ada baiknya kita
mengupas terlebih dahulu apa saja hambatan kemajuan masyarakat
Indonesia. Sebab, perempuan Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan
dari masyarakat Indonesia memiliki salingketerkaitan (Interelasi) dalam
hambatan dan jalan keluarnya dengan masyarakatnya. Singkat kata,
kemajuan masyarakat Indonesia disyaratkan oleh kemajuan perempuannya dan
kemajuan perempuan dipengaruhi pula oleh kemajuan masyarakatnya.
Obyektifnya, masyarakat Indonesia itu sejahtera, makmur dan modern,
karena syarat-syaratnya tersedia, yakni: jumlah sumberdaya manusia yang
besar dan sumber daya alam yang melimpah[3],
yang tidak dimiliki oleh banyak negeri-negeri lain. Akan tetapi, pada
kenyataannya, tingkat kesejahteraan penduduk di negeri ini berbanding
terbalik dengan kesejahteraan penduduk di Singapura, Kanada ataupun
negeri-negeri di daratan eropa. Padahal secara geografis, luas daratan
dan lautan di negeri ini jauh lebih besar ketimbang Singapura ataupun
negeri-negeri maju di eropa[4]. Mengapa ini bisa terjadi? Ini merupakan pertanyaan fundamental yang harus dijawab secara ekonomi-politik.
Indonesia[5],
sebelum menjadi suatu “Nations” atau bangsa adalah kepulauan yang
dikuasai oleh suku-suku dan kerajaan-kerajaan, terpisah-pisah dan saling
bermusuhan satu sama lain. Melalui integrasi hubungan ekonomi-politik
kapitalisme, perasaan ketertindasan yang sama, dan perkembangan
kebudayaan yang sama (khususnya sastra), menjadikan penduduk di
nusantara ini menjadi suatu bangsa. Bangsa yang obyektifnya memiliki
syarat untuk besar tetapi pada kenyataannya masih menjadi bangsa kuli.
Faktor yang paling mendasar yang menyebabkan bangsa ini masih menjadi
bangsa koeli adalah faktor rendahnya Tenaga Produktif. Tenaga
Produktif adalah penggabungan dari Sumber daya Manusia yang
berkapasitas/cakap untuk menghasilkan barang-barang materiil (Tenaga
Kerja) dan Alat-Alat Produksi. Tenaga produktif merupakan basis penting
untuk produksi dan produktifitas. Tinggi atau rendahnya kualitas tenaga
produktif suatu masyarakat akan menentukan tingkat produktifitas dan
kuantitas serta kualitas hasil produksinya.
Mulanya, Tenaga Produktif masyarakat di nusantara ini tinggi. Hal
itu terjadi semasa kekuasaan Majapahit (1350-1389). Tidak heran mengapa
Majapahit bisa membuat kapal-kapal besar (Jung-jung[6]) yang bisa mengarungi samudera dan menguasai Nusantara hingga ke Selat Malaka, membuat “Cetbang-Cetbang”[7]
dan ketika itu tinggi penduduk nusantara ini berkisar 170an cm—lebih
tinggi dari prajurit jepang pada tahun 1940an—ini mencerminkan tingkat
kemakmuran yang tinggi dari masyarakat Majapahit. Kemakmuran yang di
hasilkan melalui konsentrasi produksi di tangan pemilik alat produksi
(Raja dan Bangsawan Majapahit), itu ternyata tidak bertahan lama.
Hubungan produksi[8] Feodalisme[9] (masa Majapahit) membusuk karena korupsi dan perpecahan[10]
dalam struktur kerajaan Majapahit dan berakhir dengan kehancuran
Majapahit. Hubungan Produksi ini tidaklah bertranformasi menjadi
hubungan produksi yang lebih baik. Melainkan tetap dalam corak produksi
yang sama, corak produksi feodalisme, bedanya dengan alat produksi,
sasaran produksi dan tenaga proksi yang terpecah-pecah. Setelah
Majapahit runtuh banyak sekali muncul kerajaan-kerajaan dengan luas
kekuasaan yang kecil[11], bahkan terjadi pemecahan-pemecahan kekuasaan, seperti pembagian kekuasaan Mataram melalui perjanjian Giyanti[12]
(1755). Ataupun pemberian tanah oleh Kerajaan kepada saudagar,
syahbandar, ataupun ulama yang berakibat pemecahan penguasaan tanah
bahkan hingga pendirian Kerajaan baru (cth: Kerajaan Banten). Selain
itu, pola hak waris juga berpengaruh dalam pembagi-bagian tanah. Pola
semacam ini dikenal sebagai penyakap (Sikep-sikep/Tenancy). Akibatnya
dari struktur penguasaan tanah semacam ini adalah: tidak adanya
konsentrasi produksi sehingga tenaga produktif (force of production)
tidak berkembang dan akumulasi produksi pun tidak melimpah. Dari
struktur semacam ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada Tuan Tanah (dalam
artian definitif yang mampu bertransformasi menjadi borjuis seperti
halnya di eropa). Dan sangat sulit terjadi revolusi borjuis di
nusantara ini menggantikan kekuasaan feodal, karena memang secara tenaga
produktif, kaum borjuisnya lemah.
Tenaga Produktif dalam corak produksi yang lebih maju (Kapitalisme)
mulai dibangun oleh Kapitalisme (Primitif) Belanda, yang mencangkokkan
kapitalisme di Hindia Belanda melalui kebijakan tanam paksa[13] (1830-1870) (Cultuurstelsel) pembangunan jalan[14], Pembangunan jalan kereta api[15], pembangunan jaringan komunikasi[16]
pembukaan perkebunan-perkebunan, pembukaan sekolah-sekolah (dalam
rangka mengembangkan tenaga produktif penduduk negeri ini yang sangat
rendah). Akumulasi produksi yang di dapatkan tidak juga mengembangkan
sepenuh-penuhnya tenaga produktif, karena akumulasi produksi di bawa ke
pasar eropa dan diperuntukkan bagi borjuasi Belanda dan Eropa yang
menanamkan modalnya di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Hubungan
produksi yang menindas ini menghambat perkembangan tenaga produktif.
Memang, tenaga produktifnya dikembangkan oleh kolonialisme Belanda,
melalui pendidikan dan pelatihan ataupun lainnya akan tetapi akumulasi
kapital yang berada di tangan kolonial belanda menghambat kemajuan
tenaga produktif.
Masuknya kapitalisme belanda tidak lantas menghancurkan kebudayaan
feodalisme, bahkan di tahap awal kekuasaan politik kerajaan di pakai
untuk melegitimasi kekuasaan kolonialisme Belanda. Sedikit demi sedikit
kewibawaan kaum feudal di lucuti, dalam makna ekonomi[17]
dan pembatasannya secara politik (bahkan pemerintahan Belanda dapat
ikut campur dalam suksesi kekuasaan di kerajaan–kerajaan Mataram), tapi
secara kultural Belanda menggunakan Kerajaan untuk melegitimasi ekspansi
modal mereka. Inilah yang membuat sisa-sisa feodalisme tidak hancur,
melainkan terus bercokol hingga saat ini dalam lapangan kebudayaan.
Inilah salah satu hambatan masyarakat Indonesia dalam lapangan
kebudayaan, sisa-sisa feodalisme, yang dalam hubungan produksi memiliki pengaruh dalam pengembangan tenaga produktif.
Yang utama dari sejarah Indonesia adalah bahwa faktor historis
rendahnya tenaga produktif ternyata tetap tidak berkembang meski telah
diupayakan oleh kapitalisme belanda melalui politik etis, mobilisasi
tenaga kerja, mobilisasi alat kerja untuk membangun basis industri
kapitalisme. Akibatnya, Kapitalisme Indonesia adalah Kapitalisme yang
cacat. Kapitalisme dengan tenaga produktif (force of production) yang
rendah, dan dengan kaum borjuisnya yang lemah, yang rendah
kapasitas kapitalisnya, yang berwatakan calo (komprador). Kaum borjuis
“pribumi” merupakan transformasi dari para priyayi-priyayi yang mulai
terlibat dalam perdagangan, menjual tanahnya (yang sedikit itu) sebagai
modal (yang kecil pula) untuk membangun pabrik gula—seperti yang
dilakukan oleh para sinyo Belanda, kain (batik), bukan membangun
Industri dasar yang kuat, seperti halnya apa yang dilakukan Inggris di
India dengan membangun Industri Baja dan Besi. Sehingga basis Industri
apapun bisa disiapkan sebab teknologi bisa dikembangkan, bukannya di
impor.
Dengan kapasitas semacam ini, borjuis indonesia, tidak akan mampu
mengembangkan tenaga produktif, terus bergantung kepada modal asing, dan
rendah iman demokrasinya—padahal demokrasi menjadi salah
satu kepentingan bagi kaum borjuis untuk melapangkan ekspansi,
eksploitasi dan akumulasi modal mereka. Maka, jangan heran, apabila militerisme begitu
kuat di negeri ini. Padahal di negeri-negeri eropa, militer berada
sepenuhnya dibawah kendali kaum borjuis, digunakan sebagai alat
kekerasan untuk mempertahankan keberlanjutan dari proses akumulasi
kapital baik terhadap rakyat yang melawan penghisapan itu ataupun
terhadap serangan dari luar, dari kaum borjuis negeri lain yang hendak
menguasai alat-alat produksi mereka.
Tapi di Indonesia, kaum borjuisnya bergantung kepada militer,
sehingga militerisme bisa tumbuh dan berkembang melalui berbagai
kebijakan dan struktur kekuasaan. Di eropa, tempat bagi militer adalah
di daerah-daerah perbatasan untuk menjaga batas-batas kekuasaan negara
borjuis. Lain halnya di Indonesia, struktur-struktur militer bisa
ditemukan di kota-kota, di desa-desa maupun di kampus (melalui MENWA).
Jadi, militerisme merupakan salah satu hambatan demokrasi bagi rakyat
indonesia, padahal tak akan ada kesejahteraan tanpa adanya ruang
demokrasi (democratic space). Kita temukan lagi hambatan lainnya dari
masyarakat Indonesia adalah Militerisme.
Bagaimana militerisme itu ditunjukkan? Banyak kejadian di negeri ini
yang memperlihatkan kejahatan HAM dari apa yang dilakukan tentara di
negeri ini, sebut saja tragedi 1965, Poso, Aceh, Timor-Timur,
Talangsari, Kedung Ombo, Nipah, Marsinah, Tanjung Priok, Belangguhan,
Kaca Piring, Pandega, Semanggi, Trisakti, penculikan aktivis,
Tasikmalaya, Situbondo, Haur Koneng, Papua Barat, Semanggi II, Lampung,
Mozes Gatotkoco, 27 Juli 1996, dll–biang keladinya dari semuanya hanya
satu: tentara! Sampai saat ini pun, penindasan terus terjadi!
Mengapa militer di Indonesia bisa sebengis ini? Dalam sejarahnya
Tentara Indonesia adalah buah dari proses reorganisasi dan rasionalisasi
(re-ra) yang dilakukan jaman kabinet Hatta. Hasilnya adalah Tentara
Nasional Indonesia (TNI), yang telah dibersihkan dari kekuatan-kekuatan
revolusioner, dari laskar-laskar Rakyat—Pesindo, Hisbullah, dll. Mereka
ini, bekas lulusan KNIL dan Peta, terus menerus mencari posisi untuk
mendapatkan jatah dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya.
Sebagai kekuatan bersenjata yang semakin hari semakin independen dari
kekuasaan sipil akibat lemahnya borjuasi Indonesia, berusaha melakukan
tekanan-tekanan terhadap kekuatan sipil semasa Soekarno. Rencana kudeta
yang gagal, 17 Oktober 1952 ketika tentara mengarahkan meriamnya ke
istana dan memobilisasi massa menuntut dibubarkannya parlemen, dukungan
terhadap gerakan-gerakan sparatisme di Sumatera dan Sulawesi yang
disertai berdirinya dewa-dewan binatang (Dewan Gajah, dll). Semuanya
ini, merupakan bukti, bahwa tentara Indonesia memang berencana mengambil
peran dalam lapangan politik, ekonomi dan sosial budaya. Tentara
Indonesia semakin meraja lela, mereka berhasil merebut aset-aset
ekonomi, ketika bisa mengambil alih perusahaan asing yang
dinasionalisasi buruh dan Rakyat Indonesia tahun 1957/58. Kemudian,
setelah mereka bisa menguasai aset-aset ekonomi jarahan itu, tentara
menyempurnakanya dengan DWI FUNGSI ABRI—sebagai penegasan sikap tentara,
bahwa mereka bukan hanya sebagai kekuatan penjaga keamanan (baca:alat
sipil), tapi juga kekuatan politik. Sebagai puncaknya, mereka bisa naik
ke kursi kekuasaan, setelah menghancurkan borjuasi pendukung Soekarno
(PNI, PARTINDO), PKI dan pembantaian secara keji terhadap Rakyat
Indonesia.
Dari sini kita sudah menemukan, hambatan-hambatan Masyarakat Indonesia, antaralain: Sisa-Sisa Feodalisme, Kapitalisme Cangkokan dan Militerisme,
yang keseluruannya tidak dapat dilepaskan oleh faktor histori yang
lama, yakni: Rendahnya Tenaga Produktif. Padahal Tenaga Produktif
merupakan basis bagi akselerasi (percepatan) perkembangan masyarakat
untuk mencapai tingkat peradaban yang lebih baik. Apakah hanya itu saja
hambatan-hambatan masyarakat indonesia? Tidak! Ada satu lagi hambatan
yang paling banyak berpengaruh terhadap pemiskinan masyarakat Indonesia,
terlebih perempuan, yakni Kapitalisme Neoliberal/Neoliberalisme.
1965, merupakan pintu masuk modal asing ke Indonesia, melalui
“lautan darah” pembataian pendukung Soekarno yang anti modal asing itu,
dengan Tentara, Kaum Borjuis pro modal asing dan didukung oleh Amerika.
Jadilah negeri ini dimasuki oleh modal barat, melalui UU PMA 1967—yang
sebenarnya kontrak karya Freeport sudah disahkan sebelum pengesahan UU
PMA 1967— dan UU PMDN 1967. Pembangunanisme (Developmentalism) mulai
dijalankan dengan mengandalkan investasi modal asing dan pinjaman utang
luar negeri[18]
serta stabilisasi politik melalui Dwi Fungsi ABRI. Hasilnya, lapangan
kerja terbuka luas, dan angkatan kerja yang dapat terlibat dalam proses
produksi meningkat. Produksi andalan adalah Tekstil, Beras, kayu, dll.
Akan tetapi, industri ini rapuh karena industri dasar (Besi, Baja),
industri beratnya (mesin-mesin untuk produksi tekstil) dan industri
ringannya (industri kosumsi) sedari awal tidak dibangun. Maka, ketika
kapitalisme sedang krisis, dimulai dengan krisis moneter di Meksiko—yang
rutin membayar utang hingga kas dalam negerinya kosong—(Tequila Efect), di Chili, dan Devaluasi Bath di Thailand terjadi akibat sistem kurs bebas dan outflows capital.
Krisis tersebut berhasil menggeret krisis-krisis di berbagai negeri di
Asia (termasuk Indonesia). Bahkan krisis ini juga melanda negara-negara
maju, seperti Amerika, Inggris, Perancis. Penarikan modal besar-besaran
dari negara maju dan sebaliknya dari negara berkembang ke negara maju
telah mengakibatkan ketidakstabilan nilai tukar mata uang negara-negara
berkembang. Efek dari ketidakstabilan pasar keuangan tersebut bahkan
menyeret krisis di negara-negara yang memiliki cadangan devisa yang
cukup. Ketiadaan sistem pertahanan dalam sistem keuangan, mengakibatkan
kehancuran industri riil karena industri di negara-negara berkembang
membutuhkan bahan mentah, energy dan teknologi dari luar. Yang kesemua
itu harus dibeli dengan kurs dollar. Pelipatgandaan satu mata uang
disatu sisi dan kehancuran mata uang negara berkembang disisi lain
telah mengakibatkan nilai suatu produk melambung tinggi diluar batas
kesanggupan daya beli masyarakat.
Di Indonesia, akibat krisis ekonomi tersebut dapat kila lihat
sendiri. Seluruh sektor ekonomi mengalami keruntuhan—baik sektor
pertanian, manufacturing, konstruksi, transportasi, perdagangan, dan
jasa. Akibatnyanya, pertumbuhan sektor ekonomi yang rata-rata 7% menjadi
nol bahkan sempat dibawah nol/minus. Posisi mata uang rupiah mengalami
kemerosotan yang cukup tajam, dari Rp. 2.300,- per satu Dolar Amerika
pada bulan Juli 1997 sesaat sebelum krisis menjadi Rp. 15.000,- per satu
Dolar Amerika pada tanggal 15 Juni 1998. Beberapa hari kemudian malah
menjadi Rp.17.000,- per satu Dolar Amerika. Secara riil, Income
perkapita penduduk Indonesia merosot tajam sampai sekitar US $400 tahun
1998, dimana pada waktu sebelum krisis sekitar US $1000. Dari catatan
pemerintah, pada tanggal 6 Juni 1998, jumlah pengangguran di Indonesia
sekitar 15,4 juta orang, yaitu sekitar 17,1% dari 90 juta angkatan kerja
yang ada.
Menurut Marx, krisis ekonomi dalam sistem kapitalisme merupakan hukum
sejarah, karena anarkismenya dalam produksi, sehingga nilai komoditi
tidak sebanding dengan kemampuan daya beli masyarakat. Untuk mengobati
krisis ekonomi ini, kapitalisme internasional kemudian menjalankan
konsep ekonomi Neoliberal/Neoliberalisme—yang sesungguhnya memperparah
krisis itu sendiri.
Apa itu Neoliberalisme?
Sebagaimana yang disimpulkan oleh Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia:
“’Liberalisme’ mengacu pada ide-ide politik, ekonomi, bahkan agama.
Di AS, liberalisasi politik telah menjadi strategi untuk menghindari
konflik sosial. Yakni dengan menyuguhkan (liberalisme) pada si miskin
dan kaum pekerja sebagai hal yang progresif ketimbang kaum konservatif
atau Kaum Kanan. Liberalisme ekonomi berbeda lagi. Politisi-politisi
konservatif, yang mengatakan bahwa mereka membenci kata “liberal”¾dalam
arti tipe politik¾tak memiliki keberatan apa pun dengan liberalisme
ekonomi, temasuk neo-liberalisme.”[19]
Neoliberalisme, bila dikatakan secara retorik, esensinya adalah
bagaimana mengusahakan agar perdagangan antar bangsa menjadi lebih
mudah. Maksudnya, mengusahakan agar barang-barang, sumber daya dan
perusahaan-perusahaan lebih bebas bergerak, dalam upaya untuk
mendapatkan sumber daya yang lebih murah, untuk memaksimalkan keuntungan
dan efisiensi[20].
Bila artikel What is “Neo-Liberalism”? A Brief Definition for Activists, yang ditulis Elizabeth Martinez dan Arnoldo Gracia, dari Corporate Watch, diringkas, maka poin-poin utama neoliberalisme mencakup.[21]:
- Hukum pasar—kebebasan bagi kapital, barang dan jasa, sehingga pasar bisa mengatur dirinya sendiri agar gagasan “tetesan ke bawah” dapat mendistribusikan kekayaan. Juga mencakup upaya agar tenaga kerja tak diwakili oleh serikat buruh, dan menyingkirkan semua hambatan yang menghalangi mobilitas kapital, seperti peraturan-peraturan. Kebebasan tersebut harus diberikan oleh negara atau pemerintah.
- Mengurangi pembelanjaan publik bagi pelayanan-pelayanan sosial, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan yang disediakan oleh pemerintah.
- Deregulasi, agar kekuatan pasar bisa bekerja menurut mekanisme aturannya sendiri.
- Swastanisasi perusahaan-perusahaan milik publik (seperti perusahaan yang mengelola kebutuhan air, bahkan perusahaan internet).
- Mengubah persepsi baik tentang publik dan komunitas menjadi individualisme dan tanggung jawab individual.
Di seluruh dunia neoliberal telah dipaksakan oleh
lembaga-lembaga financial yang memiliki kekuasaan besar seperti Dana
Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), Bank Dunia
(World Bank/WB), dan Bank Pembangunan Antar Amerika (Inter-American
Development Bank), WTO (World Trade Organization) kepada pemerintahan
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Karena Borjuis “Pribumi”
lemah, rendah tenaga produktifnya, berwatak calo, maka mereka
menjalankan kebijakan-kebijakan neoliberal secara serius. Bahkan, mereka
menjadi agen neoliberalisme, dengan membenar-benarkan kebijakan
tersebut secara gamblang, dengan ikut memenangkan kebijakan tersebut
menjadi undang-undang ( UU investasi/2007, UU Privatisasi, UU Sumber
Daya Air) dan berbagai peraturan pemerintah. Inilah watak komprador dari
Borjuasi Nasional itu.
Apa akibat-akibat Neoliberalisme itu pada hari ini di Indonesia?
Semenjak kebijakan Neoliberalisme disahkan melalui penandatanganan Letter of Intent semasa
pemerintahan Habibie dan dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya,
anggaran negara tidak lagi diprioritaskan untuk pembangunan sumber daya
manusia dan pelayanan sosial. Anggaran negara lebih banyak
diprioritaskan untuk membayarkan utang luar negeri semasa 32 tahun
kekuasaan Ordebaru dan utang sebesar 40 Miliar $ US (Baswir, 2006) masa
perang kepada Belanda yang ditetapkan oleh KMB dan disetujui oleh Orde
Baru. Hasilnya, subsidi sosial (subsidi pendidikan, kesehatan, BBM
Murah, Listrik Murah, dll) dikurangi, sehingga tanggungjawab sosial
negara ditetakkan pada pundak individu. Rendahnya subsidi untuk
pendidikan dan kesehatan ditunjukkan dengan pemberian untuk kesehatan
sebesar Rp 9,9 triliun, pendidikan sebesar Rp 30,8 triliun. Jauh lebih
besar pengeluaran untuk pembayaran utang sebesar Rp 30,8 triliun.
Bangladesh saja, biaya peningkatan pelatihan dan peningkatan sumber daya
manusianya diatas US$ 1.00 per kapita;sedangkan di Indonesia dibawah
US$ 1. Bagaimana mungkin ada Industrialisasi Nasional apabila program
peningkatan tenaga produktinya rendah?
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di privatisasi, dengan pembenaran
agar lebih efesien dan produktif, pada kenyataannya aset-aset negara
tersebut dijual kepada asing dan tanggungjawab negara dalam mengelola
sumber daya alamnya dikuasakan kepada asing, yang perspektifnya tidak
untuk sosial maupun profit individual/golongan (Korporasi
Internasional). Anggaran negara semakin tipis karena modal lari keluar
negeri (capital flight). Kalau pun tersisa dana dipakai untuk belanja
militer atau belanja pejabat.
Pasar Bebas, ternyata tidak membawa keadilan dalam perdagangan (fair
trade) yang terjadi justru sebaliknya. Produk-produk tekstil asing yang
masuk dengan harga lebih murah dan kualitas lebih baik—karena tenaga
produktifnya yang tinggi dan modalnya yang besar— menghancurkan pasar
dalam negeri dan membuat industri tekstil dalam negeri yang dikuasai
oleh Borjuasi “Pribumi” dan Borjuasi Tionghoa hancur berantakan.
Ratusan Ribu bahkan jutaan buruh perusahaan Tekstil, Produk tekstil dan
Sepatu di PHK massal karena tutupnya perusahaan-perusahaan tersebut.
Semuanya, disebabkan tidak hanya karena rendahnya tenaga produktif
tetapi juga karena biaya produksi meningkat seiring dengan meningkatnya
biaya energi (Tarif Dasar Listrik, BBM). Di sektor pertanian dan
Peternakan, liberalisasi produk pertanian dan peternakan membawa apel,
tembakau, beras, ayam, daging dari luar menghancurkan produksi dalam
negeri, membuat para petani tak mau lagi bertani, kemudian menjual
tanahnya—yang sempit itu—dan menjadi pekerja kasar di perkotaan ataupun
menjadi buruh migran.
Akibat ini semua tingkat pengangguran meningkat pesat dan daya beli
masyarakat tak kunjung meningkat. Pada tahun 2007, angka pengangguran
terbuka diperkirakan bertambah 12,6 juta jiwa. Dengan demikian, jumlah
penduduk miskin diperkirakan mencapai 45,7 juta jiwa[22].
Kalau pun ada buruh pabrik yang di PHK itu mendapatkan pesangon dan
menjadi pedagang kaki lima berikutnya lapak-lapak mereka justru digusuri
oleh pemerintah daerah.
Yang paling mencolok, bagaimana dampak kebijakan neoliberalisme dalam
kesehatan ada dalam Laporan Dana Perserikatan Bangsa-bangsa Untuk Anak
(Unicef), dari 23,5 juta balita di Indonesia, 8,3 persen di antaranya
menderita gizi buruk. Sekitar 400.000 bayi yang lahir setiap tahun
menderita gangguan intelektual karena kekurangan iodium selama
kehamilan. Dan Sekitar 14.000 anak per tahun rentan infeksi karena
kekurangan vitamin A.
Inilah kebijakan Neoliberalisme itu, yang katanya hendak memberikan
“tetesan” kesejahteraan dari si Kaya kepada kaum papa, tapi kenyataannya
sebaliknya, kaum pemilik modal semakin kaya, sebaliknya mayoritas
rakyat miskin semakin terpuruk, sengsara dan miskin. Neoliberalisme
tidak membangun Tenaga Produktif bangsa Indonesia, sebaliknya, Tenaga
Produktif semakin dilemahkan, semakin dilumpuhkan. Konsentrasi produksi
tidak ditangan negara melainkan ditangan korporasi internasional dan
akumulasi kapital tidak diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan
karena akumulasi kapital tidak berada di tangan negara (yang pro rakyat)
tetapi di tangan korporasi internasional.
Kesimpulan Hambatan Masyarakat: Dari paparan ini kita sudah
dapat menyimpulkan hambatan bagi kemajuan masyarakat Indonesia untuk
mewujudkan impiannya menjadi masyarakat yang modern, sejahtera dan
demokratis yakni: Sisa-Sisa Feodalisme, Militerisme, Kapitalisme Neoliberal. (Bersambung)
Tentang Penulis:
Pemuda revolusioner asal Batak ini mengikuti jejak Amir
Syarifudin: merantau ke Jawa untuk membarakan api revolusi. Saat ini
jebolan Teknik Geologi UPN Yogyakarta menjadi Juru Bicara Partai
Pembebasan Rakyat (PPR). Tulisan yang sekarang pembaca nikmati ditulis
oleh Bung Paul ketika menjabat Juru Bicara LMND PRM. Tinggal di Jakarta bersama istri tercinta.
[1]
Patriarkhi berasal dari bahasa Latin, yaitu pater (bapak) dan arche
(aturan), sehingga kalau didefinisikan secara harafiah aturan ayah.
Kaum feminis mencoba untuk memberikan satu definisi yang bisa
menjelaskan secara utuh, yaitu, patriarkhi adalah satu system politik
dan sosial dimana laki-laki dijadikan sentral dalam setiap pengambilan
kebijakan dan aturan-aturan yang berada dalam masyarakat, yang
menyebabkan kaum perempuan hanya dianggap sebagai manusia kelas dua
[2]
Belum dalam makna sepenuh-penuhnya dan dinamis (dalam pengertian
positif) adalah bahwa hukum krisis kapitalisme akan membuat tingkat
kesejahteraan menurun dan demokrasi menyempit.
[3]Kayu,
rempah-rempah, emas, timah, besi, ikan, mutiara, minyak, batubara,
Intan, bahkan Indonesia memiliki getah perca—bahan dasar serat optik.
[4] Luas
wilayah Nusantara—yang saat ini dikenal dengan Indonesia—mencapai
1.900.000 km2, lima puluh tujuh kali luas Belanda yang pernah menjajah
Indonesia ratusan tahun, empat kali luas Prancis.
[5]
Indonesia sebetulnya sebutan untuk nama negara kita setelah kemerdekaan.
Penyebutan nama tersebut dalam fase-fase sebelum kemerdekaan hanya
untuk memudahkan saja, bukan dalam artian Indonesia sudah ada sejak
jaman manusia purba. Biasanya Indonesia masa-masa awal ini sering
disebut Nusantara.
[6] Kapal Jung adalah sejenis kapal layar, yang banyak terdapat di perairan Asia Tenggara sampai ke pantai timur Afrika.
[7] Semacam Meriam tapi lebih kecil.
[8]
Dalam proses kerja produksi atau dalam proses produksi, manusia
memerlukan dan mengadakan hubungan antara yang satu dengan yang lain
disebut hubungan produksi, yaitu hubungan antara manusia untuk
memproduksi sesuatu. maka produksi selalu bersifat sosial karena suatu
produksi selalu sebagai hasil kerja sama atau hasi hubungan bersama
antar manusia. karena itu pula produksi juga berwatak dan bersifat
sebagai milik bersama untuk kepentingan bersama. Hubungan produksi
terdapat dua macam bentuk dan sifat, yaitu hubungan produksi kerja sama
dan hubungan produksi kerja penindasan.
[9]
Feodalisme berasal dari kata feodum yang artinya tanah. Dalam tahapan
masyarakat feodal ini terjadi penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik
tanah, raja dan para kerabatnya. Ada antagonisme antara rakyat tak
bertanah dengan para pemilik tanah dan kalangan kerajaan. Kerajaan,
merupakan alat kalangan feodal untuk mempertahankan kekuasaan atas
rakyat, tanah, kebenaran moral, etika agama, serta seluruh tata nilainya
[10] Yang paling terkenal adalah Perang Paregreg (1404).
[11] Di
Jawa, setelah Majapahit runtuh, tumbuh kerajaan-kerajaan otonom yang
masing-masing menguasai wilayah sendiri. Ada kerajaan Demak, Tuban,
Jepara, ada Blambangan. Masing-masing kerajaan ini menguasai tanah-tanah
sesuai luas kekuasaanya.
[12]
Paska perjanjian Giyanti, Mataram terbelah menjadi tiga—Surakarta
(Kasunanan), Mangkunegara, Yogyakarta (Kasultanan). Masing-masing
kerjaan ini menguasai tanah seluas daerah kekuasaanya. Pada masa Rafles,
Kasultanan dibagi menjadi dua, satu menjadi Pakualam—yang juga
menguasai tanah seluas daerah kekuasannya.
[13] Dimulai pada era kekuasaan Gubernur Jendral Van Den Bosch.
[14]
Jalan Raya Pos, ia bentangkan dari Ayer di ujung barat P. Jawa sampai
Panarukan di ujung timur P. Jawa di mulai pada masa pemerintahan
Daendels. Pembangunan jalan ini merupakan patok awal kapitalisme di
Hindia Belanda.
[15] Jalur pertama jalan kereta api antara Semarang-Kedung Jati di resmikan tahun 1871.
[16]
Telegraf sebagai alat komunikasi mulai tahun 1856–kawat pertama dibangun
antara Batavia-Buitenzorg (1857), antara Batavia-Surabaya (1859) dan
bisa digunakan oleh pihak swasta, pada tahun 1859, jaringan di Jawa
panjangnya 2700 km dan terdapat 20 pos untuk umum–telah membantu
perkembangan industrialisasi di Jawa.
[17]
Melalui kebijakan sewa tanah (landrent) yang dilakukan oleh Rafless
membawa pengaruh terhadap kepemilikan tanah. Tanah-tanah kerajaan
diambil alih oleh pemerintah Inggris. Akibatnya Raja tidak lagi mendapat
upeti dari rakyatnya, tetapi dari gaji yang diberikan oleh pemerintah
kolonial.
[18] Pada tahun 1967-1969 anggaran negara sudah 26 persen dibiayai oleh utang luar negeri.
[19] Elizabeth Martinez dan arnoldo Garcia, What is “Neoliberalism”?, National Network for Immigrant and Refugees Rights, 1 Januari, 1997.
[20] Anup Shah, Kepentingan Utama Globalisasi, 03 September 2001.
[21] Ibid
Post A Comment:
0 comments so far,add yours