![]() |
Menindak pengganggu keamanan, bukan mengawalnya (© Kiagus Aulianshah /Beritagar.id) |
Menjelang perayaan Natal di Surabaya Jawa Timur, rombongan Front Pembela Islam (FPI) mendatangi mal-mal. Mereka mengimbau pengelola mal tidak memaksakan karyawannya menggunakan atribut Natal.
Dasar
imbauannya adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang
manajemen mal memaksa pegawainya yang beragama Islam menggunakan atribut
Natal.
Kedatangan anggota FPI ini sudah seizin polisi. Bahkan polisi melakukan pengawalan aksi tersebut. Ibaratnya, FPI bak tim sosialisasi fatwa MUI yang didukung polisi.
Dukungan
polisi pada FPI kali ini agak berlebihan. Siapa yang sudah mengangkat
FPI sebagai pengawal fatwa MUI yang didukung polisi?
Jika polisi
berkepentingan mengecek fatwa MUI dipatuhi atau tidak oleh manajemen
mal, sebagai aparat mereka semestinya bisa melakukannya sendiri.
Setidaknya polisi bisa membuka akses pelaporan karyawan mal yang merasa
dipaksa menggunakan atribut Natal.
Keberpihakan polisi terhadap
Organisasi Kemasyarakatan (ormas), ternyata tak hanya terjadi di
Surabaya. Di Jakarta hal serupa juga terjadi. Penganugerahan Federasi
Teater Indonesia (FTI) tahun ke-10 yang digelar di Taman Ismail Marzuki
(TIM), 28 Desember 2015, diwarnai aksi sweeping atau penyisiran oleh Forum Umat Muslim, Jakarta.
Ada
dua tokoh yang menerima penghargaan FTI tahun ini: Akhudiat, pejuang
religius teater Indonesia dan budayawan Sunda yang juga Bupati
Purwakarta, Dedi Mulyadi.
Sekitar seratus orang anggota kelompok
itu menggeruduk TIM. Di halaman TIM, mereka meminta setiap kendaraan
yang masuk membuka kaca jendelanya. Yang dicari adalah Dedi Mulyadi.
Bupati
Purwakarta yang selalu berpakaian pangsi (pakaian adat Sunda) sebagai
busana resmi, dianggap FPI sebagai tokoh syirik. Ia dituding membangun
ratusan patung, juga dianggap mengganti "Assalaamu 'alaikum" dengan
salam adat Sunda "Sampurasun".
Pengurus FPI, Abdul Majid, mengakui sweeping dilakukan untuk menemukan Dedi.
Dia mengatasnamakan seluruh masyarakat muslim dari Cikini, Kwitang,
Kalipasir dan sekitarnya, menolak Dedi Mulyadi menginjakkan kaki di
tanah Jakarta.
Kapolres Jakpus, Kombes Hendro Pandowo, seperti mentoleransi penyisiran
yang dilakukan kelompok tersebut. Ia beserta 200 anak buahnya,
mengawasi apa yang dilakukan laskar berjubah putih itu.
"Sejauh ini mereka hanya minta Pak Dedi tidak hadir, dan saya sudah cek di dalam," ujar Hendro Pandowo.
Dedi,
ternyata sudah ada di sebuah ruangan di TIM. Sesaat setelah itu
sejumlah polisi "mengamankan" Dedi. Membawanya pergi ke luar TIM. Bupati
yang pernah menyampaikan pidato kebudayaan di Forum Pemimpin Muda Dunia
di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat, ini
pun batal menerima anugerah FTI.
Mengamankan Dedi, memang
kewajiban polisi. Tapi bukan berarti polisi bisa membiarkan ormas apa
pun nama dan bentuknya untuk melakukan sweeping di ruang publik.
Pembiaran
ini, memberi kesan apa yang dilakukan itu benar, karenanya polisi hanya
mengawasi apa yang tengah dilakukan ormas tersebut. Padahal
sesungguhnya ketika melakukan pembiaran sweeping, sama artinya
polisi tengah melecehkan kewibawaannya sendiri. Ormas, bukan aparat
penegak hukum yang punya kewenangan memeriksa seseorang dengan
pengawalan polisi.
Tidak satu ormas atau kelompok pun yang bisa
mengklaim Jakarta sebagai miliknya, dan melarang seseorang untuk
menginjakkan kakinya di Jakarta. Semua warga negara Indonesia punya hak
masuk Jakarta.
Tindakan polisi dalam mengamankan acara FTI ini
patut disayangkan. Polisi melihat sudut keamanan dari sisi yang sempit,
yaitu mengamankan Dedi. Sementara keamanan yang lebih luas, yaitu
kecemasan masyarakat atas aksi segelintir ormas malah terabaikan.
Tugas
polisi bukan sekadar mengamankan seseorang. Polisi juga wajib menjaga
ketentraman seluruh warga dari gangguan dan ancaman keamanan kelompok
tertentu.
Dan juga harus diingatkan kembali bahwa polisi wajib
menindak tegas siapapun, yang mengganggu ketentraman, apalagi
menghalangi hak asasi orang lain. Bukan sebaliknya, malah mengawal
mereka.
Sumber: beritagar.id
Post A Comment:
0 comments so far,add yours