Ilustrasi

Menurut Wikipedia, ensiklopedia bebas, boikot adalah tindakan untuk tidak menggunakan, membeli, atau berurusan dengan seseorang atau suatu organisasi sebagai wujud protes atau sebagai suatu bentuk pemaksaan. Boikot juga bisa diartikan sebagai penolakan kerja sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), boikot diartikan sebagai tindakan bersekongkol menolak untuk bekerja sama (berurusan dagang, berbicara, ikut serta, dan sebagainya).

Saya garisbawahi, boikot merujuk pada tindakan ketidakikutsertaan seseorang, sekelompok orang, atau tindakan menutup diri, atau tindakan tidak menerima, dengan alasan dan tujuan tertentu. Dalam sejarahnya, strategi boikot digunakan untuk melawan berbagai macam hal. Banyak contoh untuk ini.

Di Afrika Selatan, pernah ada rezim Apartheid. Ketika warga kulit hitam Afrika Selatan menginginkan rezim apartheid berakhir, mereka memboikot dengan secara serentak tidak ikut membeli bahkan satu korek api pun di toko-toko milik orang kulit putih ketika itu. (Baca perjuangan tanpa kekerasan rakyat kulit hitam Afrika Selatan di sini).

Mereka berhasil. Pemerintah Apartheid ingin berunding dengan para pemimpin kulit hitam. Gerakan boikot mereka menempatkan derajat mereka sebagai lawan yang harus diperhitungkan. Di lain sisi, perjuangan mereka terpublikasi, dan semakin banyak diketahui publik, hingga semakin banyak simpati yang muncul. Kita tahu, Apartheid tumbang dan Nelson Mandela menjadi presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan.

Boikot juga pernah digalang Lech Walesa dkk di Polandia. Kalangan buruh mogok dan tidak bekerja. Mereka menang. (Baca soal gerakan mogok buruh Lech Walesa di sini).

Semua bersumber dari India, gerakan Mahatma Gandi Gandi mengajarkan perjuangan tanpa kekerasan, terutama ajaran Swadhesi. Swadesi adalah cinta tanah air sendiri. Roh boikot ada di ajaran ini.

Saat ini, jelang pemilihan presiden RI pada 9 Juli 2014, para tokoh politik Papua menyerukan Boikot Pilpres.Tujuannya jelas, Papua merdeka.

Dengan tegas mereka menyerukan, rakyat Papua bukan bagian dari Republik Indonesia, dan mengikuti Pilpres Indonesia tidak membawa keselamatan bagi rakyat Papua. Rakyat Papua dari Sorong hingga Merauke diharapkan untuk menyadari itu, dan kemudian tidak ikut terlibat dalam pemilihan yang akan berlangsung, dengan kesadaran bahwa dia bukan bagian dari negara kesatuan yang namanya Republik Indonesia.

Hal ini diserukan oleh para tokoh dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Free West Papua Campaign, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), West Papua National Liberation Army (APNLA), West Papua National Liberation Organisation (WPNLO), Front Pepera, Dewan Adat Papua melalui Forkorus Yaboisembut yang kini dipenjara karena dituduh berbuat makar pada Kongres Rakyat Papua III. Mereka yang menyerukan adalah tokoh-tokoh politik Papua merdeka.

Sementara para petinggi Indonesia dan KPU telah menyerukan rakyat untuk tidak boikot.

Saya pikir, kata-kata Lech Walesa, buruh galangan kapal yang jadi residen Polandia itu akan berlaku untuk situasi ini. Ia pernah berkata, "Kalau mereka membuka sedikit saja pintu menuju kebebasan, sepatu kerja saya akan mengganjal pintu itu agar terus terbuka." Undang-undang negara Indonesia masih memberi ruang bagi kehendak dan kebebasan setiap warga negara untuk memilih, termasuk memilih untuk tidak memilih.

Kepatuhan seratus persen rakyat Papua untuk boikot atau untuk ikut memilih itu kemungkinannya tipis untuk terjadi. Orang Papua pasti akan terbagi dua: ada yang memilih, dan ada yang tidak memilih. Potensi konflik jelas ada di sana.

Jurnalis dan tim-tim relawan hak asasi manusia perlu bekerja ekstra jelang Pilpres di Papua. Pelanggaran HAM rawan terjadi. Juga hati-hati terhadap proyek TNI dan polisi ambil uang keamanan dan promosi jabatan manfaatkan momen ini. Begitu pula dengan organisasi-organisasi yang lain, yang berpotensi mencari keuntungan.

Hal ini mengingat aktivitas keamanan akan meningkat. Karena isu boikot berpotensi meningkatkan intensitas persoalan politik Papua akan meningkat baik di Indonesia dan Internasional. Dan itu pasti tidak diharapkan Indonesia.

Intinya, kita tidak ingin ada pemaksaan justru pada pesta demokrasi. Seruan boleh dikeluarkan. Tapi semua kembali kepada keputusan masing-masing individu rakyat Papua. Walau memilih untuk tidak memilih sekalipun, keputusan mereka tetap harus dihargai.

Topilus B. Tebai adalah penulis di majalahselangkah.com.


Share To:

https://m-papua.blogspot.com/?m=1

Post A Comment:

0 comments so far,add yours