Sekalipun orang asli Papua (OAP) telah mengikuti dan melibatkan diri dalam proses pembangunan di Tanah Papua, pemerintah masih tetap tidak berpihak kepada mereka pada setiap ruang dan waktu. Secara objektif, pengalaman hitam ini telah diprogramkan pemerintah, sehingga sejauh ini OAP semakin sulit untuk menemukan tatanan kehidupan sosial yang sungguh-sungguh adil, damai dan sejahtera.

Sementara itu, di kalangan birokrasi, pemerintah lebih tetap mengutamakan orang Papua pendatang dalam proses pembangunan di Tanah Papua.

Hasil tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Pemerintahan Provinsi Papua (Pemprov), yang telah diumumkan oleh kepala Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Papua (BKD), Charles Kambuaya, merupakan contoh konkret dari ketidakkeberpihakan pemerintah terhadap OAP di Papua.

Ada realitas bahwa OAP yang telah diterima sebagai CPNS di Provinsi Papua pada priode 2013/20014 ini adalah hanya 86 (delapan puluh enam) orang saja dari 296 CPNS.

Sementara orang Papua pendatang yang telah diterima sebagai CPNS yakni sebanyak 210 orang. Data hasil tes CPNS kali ini menunjukkan bahwa pemerintah telah menerima banyak orang Papua pendatang sebagai CPNS.

Sementara orang asli Papua tidak banyak diterima atau tidak banyak dibuat sebagai skala prioritas utama dalam membangun Papua sekarang. Hal ini semakin memperparah berbagai konflik yang telah dialami oleh rakyat Papua selama ini. Bahkan kehidupan sejatipun kian terus menjadi ilusi belaka bagi Papua dalam era Otsus tersebut.

Substansi Otsus
Muatan substansi dari UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua adalah dari dan untuk orang asli Papua. Secara sejati, Otsus itu diberikan oleh pemerintah Jakarta karena maraknya misi rebutan kemerdekaan politik Papua dari NKRI.

Perjuangan kemerdekan bukan hal baru bagi Papua. Misi kemerdekaan orang Papua telah berada dan sudah terpatri dalam setiap integritas orang asli Papua. Orang asli Papua telah menyatakan diri untuk tidak mau hidup bersama pemerintah Indonesia.

Telah menjadi pengalaman bersama bahwa Papua baik secara eksistensi maupun secara substansial tidak mau dan tidak akan pernah bisa untuk hidup bersama dengan pemerintah Indonesia ras Melayu.

Karena itu, sebagai solusi politiknya, pemerintah tetap mempertahankan Papua melalui UU Otsus tersebut. Ketika kebijakan Otsus diberikan pemerintah pusat bagi Provinsi Papua, maka ada harapan bersama bahwa orang asli Papua akan menjadi tuan, pemimpin dan pelayan sejati bagi dunia di atas negerinya sendiri. Tetapi, faktanya?

Secara rinci, ada empat amanat mendasar yang telah diuraikan dalam UU Otsus yakni perlindungan atas hak-hak dasar orang asli Papua, perlindungan terhadap nilai-nilai budaya termasuk hak kebebasan atas pemanfaatan bendera "Bintang Kejora" sebagai lambang kultural OAP di Papua, proteksi terhadap orang asli Papua dan pemberdayaan dan kesejahteraan orang asli Papua dalam segala aspek kecuali soal keuangan, kemiliteran dan keamanan di dalam dan luar negeri.

Inti sari dari keempat amanat UU Otsus ini adalah bagaimana pemerintah melalui UU Otsus itu, harus bisa melibatkan orang asli Papua sebagai tuan dan bukan penonton setia di atas negerinya sendiri.

Telah menjadi harapan bersama bahwa melalui Otsus pula orang asli Papua mulai dapat merealisasikan diri dan berbagai potensinya secara bebas, adil dan bijaksana demi menciptakan Papua, Tanah Damai.

Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera
Tanpa menghilangkan substansi dari UU Otsus bagi eksistensi Papua, maka Gubernur Lukas Enembe dan jajarannya juga telah tampil dengan visi yang luar biasa. Keluhuran visi menurut Gubernur itu ialah "Papua bangkit, mandiri dan sejahtera".

Visi paling mulia ini tentunya dialamatkan secara khusus kepada OAP. Orang asli Papua adalah barometer utama dalam menentukan berbagai kebijakan, program dan rumusan hidup dalam membangun pembangunan secara sejati di Papua.

Dalam arti ini isi pembangunan bukan merujuk pada infrastruktur, jalan dan bangunan gedung, buru investor dan bukan menyediakan tempat bagi orang Papua pendatang melalui kebijakan pemekaran Provinsi dan Kabupaten.

Juga bukan mendominasi orang pendatang dalam segala aspek kehidupan di Papua melalui berbagai cara yang bernuansa jiplak-jiplakan dari Jakarta.

Bahkan dengan menggunakan nama Allah sekalipun demi kepentingan nasional atau kepentingan kelompok elit tertentu pastinya tidak pernah terkandung dalam visi besar di atas ini. Tetapi substansi dari visi di atas adalah hanya dari dan untuk keberadaan rakyat asli dan alam Papua demi kebaikan bersama.

Ulasan di atas ini kemudian membawa kita pada suatu akar persoalan secara realistis bahwa memang pemerintah dalam membangun Papua belum pernah melibatkan rakyat asli Papua. Pengalaman sejarah telah membuktikan bahwa sekalipun Otsus, UP4B dan Otsus Plus dan kebijakan pemekaran Provinsi dan Kabupaten yang semakin berlimpah ganda diberlakukan bagi keberadaan alam dan manusia asli Papua, tetapi realisasinya tidaklah demikian.

Semua program, kebijakan dan UU Otsus apapun bentuk dan wujudnya, belum mampu menjawab harapan dan kegembiraan, derita dan kecemasan orang asli Papua selama lima dekade.

Sampai hari ini, pemerintah masih belum mampu melibatkan orang asli Papua sebagai penentu, subjek dan aktor utama dalam rangka membangun pembangun Papua secara sejati.

Karena itu, Papua baik secara eksistensial maupun substansial telah mungkin akan dieksploitasikan juga oleh pemerintah di negeri ini, meskipun pemerintah bersama media massa telah dan akan berupaya keras untuk membolakbalikan fakta buruk ini dengan konsepsi dan bahasa-bahasa yang penuh kedermawanan. Seperti yang dilakukan oleh sejumlah media massa atas berbagai masalah yang telah terjadi pada akhir-akhir ini.

Aksi Nyata
Dengan merefleksikan sejarah hitam ini, Papua harus dibangun dengan menggunakan perspektif dan pendekatan budaya orang asli Papua sendiri. Konkretnya demi terciptanya Papua bangkit, mandiri dan sejahtera, hasil CPNS pada periode 2013/2014 ini harus segera direvisi ulang oleh pemerintah. Ini tidak resmi.

Perlu diketahui secara baik bahwa tidak ada alasan bagi Anda mengatakan tidak bisa untuk direvisi. Dimana dalam proses revisinya, pemerintah harus bisa menerima semua orang asli Papua sebagai pegawai negeri sipil agar mereka dapat melayani rakyat Papua.

Juga bahwa hasil CPNS ini dibuat oleh pemerintah di mana pemerintah dalam penerimaannya telah memprioritaskan orang Papua pendatang dan bukan OAP karena didorong oleh berbagai kepentingan sesaat di kalangan birokrat. Penyebab utama yang paling mencolok yakni karena kekuasaan struktur kepemerintahan, yang didominasi oleh kaum pendatang.

Sejauh ini, kita telah alami bersama bahwa memang belum pernah ada reformasi birokrasi yang secara sungguh-sungguh memihak pada OAP di negerinya sendiri. Dan tindakan seperti ini jelas-jelas sudah tidak sesuai dengan substansi UU Otsus bagi OAP di Tanah Papua.

Dari ulasan saya atas secercah masalah Papua ini, maka hal yang telah menjadi keprihatinan mendasar yakni ketidakberpihakan pembangunan dari pemerintah terhadap orang asli Papua dalam berbagai aspek.

Misalnya, realisasi dari agenda penerimaan CPNS yang dilaksanakan pemerintah pada kali ini, yang tidak mengutamakan orang asli Papua berdasarkan semangat Otsus dalam membangun Papua seperti biasanya selama lima dekade.

Selain ini, hak untuk mendapatkan pendidikan bagi para calom mahasiswa asli Papua juga merupakan masalah yang paling fundamental dari waktu ke waktu. Para mahasiswa asli Papua telah memprotes atas hasil ujian SBMPTN pada hari-hari ini. Sikap protes ini telah dinyatakan justru karena pemerintah tidak mengutamakan anak-anak asli Papua dalam membangun pendidikan di Papua.

Tindakan pemerintah seperti ini telah diwarnai pula dalam sepanjang sejarah pendidikan Papua hingga sekarang. Jadi, soal ini adalah contoh konkret bagi kita untuk mengetahui betapa besar ketidakberpihakan pemerintah terhadap keberadaan OAP dalam membangun pembangunan Papua secara umum.

Padahal, penduduk orang asli Papua yang jumlahnya hanya 2.0500 (dua juta lima ratus jiwa) saja tidak bisa diatur secara baik oleh pemerintah. Telah terbukti bahwa keberadaan orang asli Papua itu berjumlah paling amat sedikit dan lebih lemah sekali. Sudah begitu, nasib hidup rakyat asli Papua yang pernah ikut tes CPNS di provinsi kemarin itu juga sungguh telah menderita lama.

Penderitaan atas rakyat ini paling amat diperparah pula ketika dihadapkan dengan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak adil, yang terjadi pada akhir-akhir ini. Bagaimana itu Anda bangun Papua? Ini sudah jelas-jelas tindakan kejahatan pemerintah yang tidak memanusiakan dan menyelamatkan manusia Papua.

Sebagai pemerintah, anda harus bersikap adil, jujur dan bijaksana dalam mengambil berbagai kebijakan. Rakyat asli Papua ini jangan lagi dikorbankan dari pemerintah melalui berbagai kebijakan pembangunan tersebut. Pemerintah dalam membangun Papua harusnya memiliki sikap dan tindakan keberpihakan secara tegas terhadap hak-hak dasar orang asli Papua termasuk hak mereka atas pekerjaan kepegawaian di Papua karena memang mereka punya hak istimewa.

Rakyat asli Papua punya hak dan kewajiban atas pembangunan di Papua. Tanpa keadilan dalam konteks pembangunan manusia asli Papua, damai tidak akan pernah tercipta bagi Papua, yang penuh dengan pelanggaran HAM, memorial passionis.

Ernest Pugiye adalah Alumni STFT Fajar Timur Abepura-Papua 2013


Source: MAJALAH SELANGKAH
Share To:

https://m-papua.blogspot.com/?m=1

Post A Comment:

0 comments so far,add yours