Ist
Nilai tukar rupiah sudah menyentuh batas psikologis karena melampaui angka Rp 14.000 per US$ 1 dalam perdagangan kemarin. Pelaku pasar, baik domestik maupun asing, mengkhawatirkan perkembangan ini menimbulkan dampak negatif yang semakin luas, termasuk pada perdagangan saham dan pembayaran utang luar negeri.

Kita menyaksikan dengan sangat cemas perkembangan pasar awal pekan kemarin. Dalam transaksi antarbank di Jakarta, kurs rupiah melemah 122 poin, menjadi Rp 14.038, dibandingkan akhir pekan lalu. Perkembangan tersebut lebih cepat dari perkiraan semula, mengingat banyak yang percaya nilai rupiah masih bisa bertahan di bawah Rp 14.000 hingga akhir bulan ini.

Bursa saham juga terpukul. Bahkan, indeks harga saham gabungan (IHSG) merosot ke level terendah sejak dua tahun lalu, turun 192,91 poin (4,4 persen) ke level 4.143 pada pembukaan perdagangan, Senin pagi. Tercatat sebanyak 230 saham menyeret IHSG ke zona merah, hanya 12 saham menguat dan 30 saham tidak bergerak. Secara sektoral, sepuluh sektor saham tercatat melemah, antara lain industri dasar turun 7,23 persen, diikuti saham perkebunan 6,14 persen, dan sektor saham konstruksi turun 5,3 persen.

Kepala Riset NH Korindo Securities Indonesia, Reza Priyambada, dikutip pers mengatakan nilai dolar AS menguat kembali terhadap mayoritas mata uang Asia, mengikuti perkiraan bahwa The Fed akan menaikkan suku bunganya pada September 2015. "Meski masih ada keragu-raguan The Fed menaikkan suku bunga menyusul ekonomi global yang masih melambat, hal itu tetap mendorong pelaku pasar melakukan akumulasi dolar AS," katanya.

Tertembusnya batas psikologis kurs rupiah di atas Rp 14.000 telah menimbulkan sentimen negatif di pasar. Investor asing disebut-sebut makin khawatir bila kurs rupiah terus melemah karena pendapatan mereka dalam denominasi rupiah akan berkurang sehingga mendorong mereka melepas saham. Ini bisa menimbulkan siklus negatif karena tekanan jual terus terjadi dan kebutuhan valuta asing tentu saja meningkat, yang menekan kurs rupiah lebih rendah lagi.

Kita perlu lebih berhati-hati karena situasi semakin rumit di tengah “perang mata uang” yang terjadi belakangan ini. Tiongkok mengambil langkah berani dengan mendevaluasikan yuan dengan perhitungan posisi ekspornya bisa ditingkatkan. Berbeda dengan kita yang kebutuhan bahan baku dan barang modalnya masih diimpor sehingga pelemahan kurs rupiah justru memberikan tekanan besar terhadap industri.

Pengamat moneter Farial Anwar memperkirakan bukan tidak mungkin beberapa negara seperti Korea, Jepang, dan Thailand mengikuti langkah Tiongkok, meski mata uang mereka juga sudah merosot. Namun, bila hal itu terjadi, dampaknya akan semakin besar bagi kita, yang akibatnya sangat tidak menguntungkan. Dunia usaha akan semakin terpukul, apalagi mereka yang menanggung utang luar negeri.

Pemerintah sudah sangat menyadari situasi ini. Dalam rapat kabinet pekan lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan tujuh langkah perbaikan, mencakup beberapa aspek yang diperlukan dalam stabilisasi ekonomi dan pemangkasan berbagai hambatan bisnis dan investasi. Kepada internal pemerintahan diinstruksikan agar seluruh kementerian, lembaga, dan pemda meningkatkan serapan anggaran, yang berlangsung sangat lambat pada semester pertama, agar menambah stimulasi ekonomi. Serapan anggaran masih sangat rendah, bahkan Rp 270 triliun anggaran pemda mengendap di perbankan, padahal seharusnya sudah disalurkan, termasuk ke desa-desa. Pengendapan dana tersebut, tentu saja, sangat tidak produktif.

Pemerintah juga bermaksud menderegulasi aturan yang berkaitan dengan perizinan bisnis, investasi, serta pengadaan barang dan jasa. Selain itu, pemerintah berusaha keras mempercepat waktu bongkar muat kapal di pelabuhan (dwelling time) menjadi paling lama 3-4 hari selesai. Pemerintah juga menaruh perhatian besar terhadap gejolak harga beberapa barang kebutuhan pokok, dan memutuskan untuk merevitalisasi Bulog agar bisa mengurus semua kebutuhan pangan strategis, tak terbatas pada pengamanan cadangan beras nasional.

Namun, semua kebijakan pemerintah itu membutuhkan waktu. Pengaruhnya akan terasa di kemudian hari nanti; sedangkan persoalan pelemahan kurs rupiah dan kemerosotan IHSG masih terjadi saat ini dan dampaknya berlangsung cepat. Oleh karena itu, kita meminta otoritas moneter, terutama Bank Indonesia (BI) dan menteri-menteri terkait di bidang ekuin, mengambil langkah-langkah yang cepat dan tepat untuk menjaga agar sentimen negatif tidak makin meluas.

Bukan tidak mungkin hari-hari ke depan akan terasa lebih sulit dan pahit. Bukan tidak mungkin gejolak kurs mata uang akan lebih terasa, demikian pula di pasar saham. Beruntung kita pernah mengalami hal serupa beberapa tahun lalu, semestinya otoritas moneter mampu mengantisipasinya dengan sangat baik agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. 

Sumber: SINAR HARAPAN
Share To:

https://m-papua.blogspot.com/?m=1

Post A Comment:

0 comments so far,add yours