Krisis melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang dipicu devaluasi mata uang yuan Tiongkok, mengancam kehidupan komunitas buruh di Indonesia. Komunitas buruh terancam PHK massal sebagai dampak gulung tikarnya perusahaan-perusahaan yang sangat tergantung impor bahan baku dari luar.
Industri nasional Indonesia memang harus diakui tidak memiliki ketahanan menghadapi krisis. Itu karena mayoritas saham Industri besar dikuasai modal asing dan bukan kategori industri strategis yang tahan krisis moneter (ekonomi). Industri Indonesia bukanlah industri berat yang disokong kemandirian modal, serta resources domestik.
Sektor Industri selalu berkaitan dengan nasib komunitas buruh. Sejak era Orde Baru, komunitas buruh dijadikan daya tawar investasi asing disektor Industri. Daya tawarnya adalah upah murah yang dipatok mengikuti logika politik pangan murah. Upah buruh murah tetap terjaga dalam mekanisme daya beli yang murah.
Pada era liberalisasi ekonomi pasca-Orde Baru, upah buruh meningkat seiring menguatnya posisi politik komunitas buruh. Meski negara yang melayani kepentingan pemilik modal, telah menekan kekuatan posisi tawar buruh dengan regulasi yang antiburuh. Sistem kerja outsourcing diberlakukan untuk menekan eksistensi kaum buruh. Demikian berbagai represi regulasi yang lain, dalam ketiadaan jaminan keamanan dan kenyamanan kerja.
Terpukulnya sektor Industri domestik akibat melemahnya nilai tukar rupiah dalam logika kepentingan korporasi, harus diimbangi efisiensi biaya produksi, yakni dengan menekan upah buruh atau dengan mengurangi jumlah tenaga kerja. Hal tersebut seperti hukum besi sistem ekonomi yang mengagungkan daulat pasar, yang akan ditumbalkan adalah komunitas buruh yang diletakkan sebagai komponen biaya produksi. Meski komunitas buruh sesungguhnya dalah penggerak produksi.
Krisis moneter ataupun krisis ekonomi merupakan keniscayaan dalam sistem ekonomi liberal (imperialisme modern). Krisis moneter dan krisis ekonomi disebabkan kelebihan produksi dan kapasitas industri yang akhirnya memicu persaingan politik ekonomi antar negara-negara yang terkategori negara industri raksasa. Salah satu wujud persaingan adalah perang nilai tukar atau currency wars antara negara-negara industri raksasa yang kelebihan beban produksi. Itu seperti halnya perang devaluasi yuan terhadap dolar AS sekarang ini. Indonesia negara yang tergantung terhadap produk impor dari Tiongkok, Jepang, dan AS terpukul sinyal menguatnya dolar AS.
Di Indonesia, “berkah” dari resesi ekonomi global 1930-an melahirkan kesadaran antikolonialisme dan imperialisme. Masyarakat terpelajar di Indonesia pada era 1930-an mulai memiliki kesadaran memperkuat organisasi politik kebangsaan dengan berbagai spektrum ideologi.
Sebelum resesi ekonomi global, pemerintahan kolonial Hindia Belanda telah membaca tanda zaman dan mencoba mengeliminasi dampak potensi krisis dengan menjalankan politik etis nasihat Van Deventer. Pemerintah kolonial membuat sogokan di bidang pendidikan untuk mencetak tenaga siap pakai rendahan dari kaum boemipoetera untuk mengisi tenaga kerja industri perkebunan. Pemerintah Kolonial juga membangun irigasi untuk kepentingan produktifitas pertanian sebagai pilar penyangga krisis pangan.
Organisasi dan komunitas yang paling resisten terhadap pemerintah Kolonial adalah organisasi/komunitas buruh. Pada era 1920-an dan 1930-an, komunitas massa yang dengan aktif melawan ketidakadilan kebijakan kolonial adalah kaum buruh. Bahkan pada 1920-1927 terjadi pemogokan buruh kereta api dan buruh perkebunan besar-besaran di Vorstenlanden Surakarta, Priangan (Jawa Barat) dan Sumatera Timur. Kaum buruh perkebunan dan buruh pabrik gula maupun buruh transportasi kereta api melawan kebijakan penurunan upah dan kesewenang-wenangan pemerintah kolonial.
Reaktualisasi Diri
Tidak krisis saja nasib komunitas buruh terabaikan, apalagi saat krisis, akan ditumbalkan untuk mempertahankan kepentingan korporasi dan kuasa modal. Komunitas buruh yang berpotensi di-PHK mencapai jutaan orang. Ribuan buruh telah benar-benar di-PHK pada akhir Agustus di berbagai kota kawasan Industri.
Untuk itulah komunitas buruh harus meresponsnya dengan sikap kritis dan melawan. Gerakan buruh harus mereaktualisasikan diri dalam nafas persatuan gerakan. Gerakan buruh melawan dampak krisis, harus hati-hati dan jangan dijadikan alat kepentingan politik elite.
Beberapa langkah yang harus dilakukan adalah; pertama, belajar dari referensi gerakan sejarah buruh yang solid tahun 1930-an, gerakan buruh harus mulai dipimpin oleh partai pemersatu. Mau tidak mau, unitarianisme gerakan buruh harus bergerak maju membangun partai politik yang berasal dari rahim gerakan buruh. Partai politik kaum buruh untuk perjuangan nasib kaum buruh.
Kedua, mengencarkan dan menguatkan advokasi nasib buruh dari ketidakadilan kebijakan “reaksoner” dengan dalih kebangkrutan akibat krisis. Gerakan buruh harus membela hak komunitas buruh yang di-PHK massal tanpa jaminan sosial dan pesangon. Selain itu, lebih kencang menolak PHK massal tanpa syarat.
Ketiga, gerakan buruh mendesak pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) untuk menetapkan langkah kebijakan ekonomi yang tidak hanya menguntungkan korporasi, namun juga melindungi hak hidup kaum buruh. Pemerintahan Jokowi-JK harus memberikan jaminan sosial bagi kaum buruh yang di PHK atau kaum buruh yang sedang turun daya belinya. Gerakan buruh harus kompak dan bersatu mendesakkan program ekonomi pro buruh, dalam menghadapi krisis ekonomi yang sedang terjadi. Gerakan buruh menjadi kekuatan politik penekan yang aktif untuk perubahan sistem dan menuju keadilan sosial. (*)
Sumber: SINAR HARAPAN

Post A Comment:
0 comments so far,add yours