Foto: Sayap Militer Gerakan Aceh Merdeka.
Rentetan aksi kekerasan bersenjata oleh eks tentara Gerakan Aceh Merdeka, GAM, menjadi salah satu persoalan yang masih menghantui peringatan sepuluh tahun perdamaian Aceh.

Walaupun kemungkinan tidak terkait satu sama lain dan dilatari motif berbeda, tak sedikit eks kombatan yang melakukan tindakan kekerasan, seperti merampok, membunuh dan meneror.

Salah satu dari kelompok bersenjata ini, menurut keterangan resmi, adalah kelompok eks kombatan GAM yang dipimpin Nurdin Ismail alias Din Abu Minimi.

Penculikan dan pembunuhan dua aparat intelijen Kodim 0103 Aceh Utara, Maret 2015 silam, selalu dikaitkan dengan kelompok ini, walaupun belakangan dibantah oleh Din dan kawan-kawan.

Belum ada jalan keluar yang dianggap dapat menjadi obat mujarab untuk mengatasi persoalan yang selalu terulang ini.

Gubernur Aceh Zaini Abdullah, misalnya, sejauh ini lebih menekankan pada penyelesaian hukum.

“Itu persoalan yang menyangkut kriminalitas. Tentunya penegak hukum yang bisa mengatasinya,” kata Zaini Abdullah kepada wartawan di Banda Aceh, Selasa (11/08) malam.

Sebelum peristiwa pembunuhan dua aparat intelijen tersebut, beberapa eks kombatan GAM terlibat penculikan warga Skotlandia dan perampokan mobil perusahaan asing.

Polisi terus memburu kelompok Din Dimini, tetapi belum membuahkan hasil lima bulan setelah kejadian.

Mengapa melakukan aksi?

Proses yang disebut sebagai reintegrasi ribuan eks kombatan GAM ke dalam kehidupan sipil sudah dilakukan sejak awal perdamaian.

Tetapi pada kenyataannya program yang merupakan bagian dari kesepakatan damai Helsinki 2005 itu tidak berjalan seperti dibayangkan.

Azhari Cage: mau diapakah anak buah di lapangan?
Selalu saja ada klaim bahwa bantuan ekonomi –yang bersifat sementara– tidak merembes secara merata pada sebagian eks tentara GAM.

Politisi Partai Aceh, yang juga anggota DPR Aceh, Abdullah Saleh mengatakan, kasus Din Minimi adalah murni masalah kriminal.

Logikanya, tidak semua eks kombatan melakukan aksi kekerasan bersenjata setelah perdamaian disepakati.

“Tergantung orangnya. Ada eks kombatan yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan suasana damai. Mestinya mereka bisa mencari penghidupan,” kata Abdullah Saleh.

Tetapi saat pertama kali tampil di depan umum pada Oktober 2014 silam, kelompok eks kombatan GAM Din Minimi menyatakan, pihaknya menolak proses perdamaian di Aceh karena hasilnya tidak berimbas pada “nasib rakyat Aceh”.

Anggota Komnas HAM sekaligus sosiolog asal Aceh, Otto Syamsudin Ishak mengatakan, aksi kekerasan bersenjata yang melibatkan eks kombatan GAM ini membuktikan kegagalan proses transformasi mereka “dari gerakan bersenjata ke gerakan politik”.

“Ketika terjadi perdamaian, kalangan GAM sendiri tidak siap dengan satu konsep bagaimana mentransformasi keseluruhan anggotanya,” kata Otto saat ditemui di sela-sela acara simposium perdamaian Aceh di Banda, Rabu (12/08) siang.

“Beda dengan masa DI/TII dulu, yang proses transformasinya relatif lebih mulus, sehingga tidak ada manusia seperti Din Minimi,” katanya, membandingkan.

Otto Syamsyudin Ishak: transformasi Aceh berbeda dengan DII/TII.

Menurutnya, ketika elit eks GAM kini berkuasa, masalah seperti ini harusnya tidak terjadi.

“Kalau secara logika itu kan sangat sederhana. Mereka dulu kan panglima, komandan, atau elit GAM. Seharusnya proses transformasinya lebih mulus dengan konsep yang jelas,” jelas Otto yang dulu aktif mengungkap kasus-kasus kekerasan di Aceh selama periode konflik.

“Mau diapakan para anak buah di lapangan, yang pegang radio, yang antar makanan, yang pegang senjata, antar senjata. Nah, bagaimana mereka ditransformasikan nasibnya,” kata Otto.

“Akhirnya karena tidak ada konsep, terjadi gap sangat tajam di antara mereka. Ada yang rumahnya bagus, ada rumahnya yang tidak bagus. Ada yang naik mobil, ada yang tetap jalan kaki,” ujarnya.

Terlepas dari kasus kelompok Din Minimi, seorang bekas kombatan GAM yang kini menjadi anggota DPR Aceh, Azhari “Cage” mengatakan, sebagian kawan-kawannya yang dulu mengangkat senjata melawan TNI/polisi Indonesia, tidak mampu “memanfaatkan peluang”.

“Bisa nggak apa yang telah diberikan oleh pemerintah Aceh, BRR (Badan rehabilitasi dan rekonstruksi) Aceh, dll, bisa nggak mereka memanfaatkan. Kalau ada yang belum tersentuh, atau terlupakan, mari kita sama-sama duduk dan cari jalan penyelesaiannya,” kata pria asal Aceh Utara yang lulusan SMA dan kini tengah kuliah di sebuah perguruan tinggi di Aceh.

Bagaimanapun, serangan kelompok bersenjata yang melibatkan kombatan GAM, termasuk Din Dimini dan kawan-kawan, bukanlah yang pertama dan terakhir.

Dan belum lama berselang, tepatnya pertengahan juni 2015 lalu, sejumlah bekas tentara GAM menyandera mobil milik Wakil Bupati Aceh Timur.

Mereka mengklaim melakukannya setelah kesulitan melakukan dialog dengan pejabat tersebut tentang dana bagi eks kombatan./
Sumber : BBC Indonesia

Share To:

https://m-papua.blogspot.com/?m=1

Post A Comment:

0 comments so far,add yours